Cerpen Cinta Love at First Sight Part ~ 19

Mendadak mual waktu baca ulang part kali ini. Hahaha sepertinya sang admin lagi dalam keadaan yang sulit dijelaskan sampai memposing Cerpen cinta love at first sight part 19 kali ini.

Untuk yang penasaran dengan seberapa anehnya part kali ini langsung saja dicek ya, dan untuk yang udah lupa dengan part sebelumnya bisa dicek disini. Happy reading,

Cerpen Cinta Love at First Sight Part ~ 19
Cerpen Cinta Love at First Sight Part ~ 19

Love at First Sight


“Kamu pulang bareng aku kan,?” Putusku sambil membereskan peralatan alat tulisku diatas meja. Olive menatapku dengan pandangan hati-hati dan dengan expresinya aku tau ada keraguan disana.

“Maaf, aku harus kesuatu tempat hari ini,” ucap Olive setelah berfikir sesaat.

“Pengkhianat,” balasku cepat “Memangnya mau kemana kamu,?” tanyaku kemudian.

“Ada yang harus aku lakukan untuk membuktikan sesuatu, nanti aku akan cerita. Aku benar-benar harus bergegas sekarang,” jawab Olive dengan buru-buru memasukkan alat tulisnya kedalam tas dengan sembarangan.

“Tidak bisa dibatalkan saja? Aku sedang tidak ingin pulang sendiri,” keluhku masih dengan memperhatikan gadis disampingku yang masih sibuk dengan mengemas barangnya.

“Aku benar-benar minta maaf, nanti aku traktir ya. Biasanya juga kamu pulang bareng Revan kan, udah nggak jamannya ngambek lama-lama tau,” balas Olive yang seolah tau apa yang aku fikirkan.

“Aku belum cerita apapun bukan?” keluhku kesal, gadis ini selalu saja tau apa yang akan aku katakan padanya, sementara aku sendiri tidak tau apa yang akan dia lakukan dan fikirkan. Menyebalkan,

“Semua sudah tergambar jelas dijidatmu itu, sudah berbaikan saja dengannya. Aku harus pergi sekarang, daaa Devi...” ucap Olive dengan cepat sambil menepuk pelan bahuku kemudian ngacir keluar kelas dan segera hilang dari pandangan dibalik pintu. Aku menghembuskan nafas pelan, hari yang menyebalkan.

Perlahan aku membereskan peralatanku kembali yang tadi sempat tertunda, setelah beres tanpa semangat aku melangkah keluar kelas, sedikit perasaan aneh menyusup dalam dadaku, antara lega karena tidak ada Revan diluar, dan kesal karena tidak adanya pria itu. Yang awalnya aku berfikir pria itu menyebalkan karena menganggapku cowok, dan bertambah kesal karena sepertinya pria itu sudah tidak tertarik lagi padaku karena masalaluku itu.

Baiklah, sebenarnya aku tidak benar-benar tomboy. Hanya saja, itu aku lakukan disaat-saat yang memang dibutuhkan, misalnya saat aku menjadi stalker Revan, akan menurunkan imageku jika aku membuntuti orang tanpa penyamaran, namun saat aku melakukannya. Aku justru malah mengagguminya, dan mengabadikan penampilan itu untuk aku jadikan kenang-kenangan. Namun aku takut jika Revan menyadari tampilanku dan mengetahui bahwa aku pernah membuntutinya dulu. Jika ketahuan aku tidak tau lagi harus menjelaskannya bagaimana.

Meskipun begitu, aku juga penasaran dengan apa yang pria itu fikirkan. Apakah dia akan berfikir buruk tentangku dan tidak jadi menyukaiku, ataukah dia sudah tidak mau lagi bertemu denganku, mengingat pria itu yang bahkan tidak ada diluar kelas kali ini membuatku semakin yakin akan tebakanku ini. Dan lagi-lagi aku menghembuskan nafas lelah, tanpa semangat melangkah memasuki bus kota untuk pulang. Untungnya bus kali ini tidak terlalu ramai, jadi aku bisa duduk dimanapun yang aku mau.

Mengingat perasaanku yang sedang tidak menentu dan hatiku yang tidak sedang dalam keadaan normal, aku memilih kursi disamping jendela yang hanya terdiri dari satu kursi. Agar tidak ada yang bisa duduk disampingku. Namun, baru saja aku mendudukan tubuhku seseorang dengan cepat menarik tubuhku dan membawanya kebelakang, sebelum aku sadar apa yang terjadi kini aku sudah duduk dipojokan bus dengan seseorang yang ikut duduk disampingku. Kaget, aku menoleh dengan cepat.

“Aku tidak akan membiarkanmu menghindariku untuk kedua kalinya,” ucap Revan dengan pasti sebelum aku sempat protes akan ulahnya. Tapi jika difikir kembali, aku juga tidak tau apa yang akan aku ucapkan pada pria ini. Bingung harus menjawab apa aku lebih memilih untuk diam dan menatap keluar jendela saat bus kembali berjalan.

“Masih marah?” tanya Revan sambil menoleh kearahku, aku masih terdiam tidak menatap kearahnya.

“Baiklah, aku akan tetap disini sampai kamu mau kembali bicara padaku,” lanjutnya sambil melipat kedua tangannya dan menyandarkan kepalanya disandaran kursi. Aku masih terdiam membiarkannya. Toh rumahku juga tidak jauh lagi, memangnya mau sampai kapan pria ini akan menahanku.

Bus terus melaju dan aku masih terdiam, begitu juga Revan disampingku. Aku sama sekali tidak tau apa yang pria itu fikirkan namun diam-diaman seperti ini justru membuatku merasa tidak nyaman. Bahkan perjalanan yang seharusnya singkat terasa begitu lama terlewati.

“Kiri pak,” ucapku kearah sopir saat menyadari arah pemberhentian tidak jauh lagi dari rumahku dan aku segera bersiap untuk berdiri, namun diluar dugaan, justru Revan yang berada disampingku menghalangi jalan keluarku dengan tubuhnya.

“Nggak jadi pak, maaf. Lurus aja dulu ya pak,” ucap Revan saat bus hampir berhenti, aku menatap kearah Revan dengan pandangan tajam, namun pria itu cuek saja dan masih dengan posisinya. Begitu bus kembali melaju aku dengan kesal memperbaiki arah dudukku untuk lebih nyaman.

“Kamu tidak berfikir, aku akan mengalah dan membiarkanmu menghindariku lagi bukan?” ucap Revan dengan manis, aku masih terdiam disampingnya “Sampai kamu mau kembali bicara padaku baru aku biarkan kamu turun,” lanjutnya kembali.

“Kekanak-kanakan,” keluhku tanpa menatap kearah Revan.

“Masih lebih kekanak-kanakan siapa yang mengabaikanku dari tadi,” balas Revan nggak mau kalah. Aku menatapnya tajam, namun lagi-lagi Revan tidak menunjukkan rasa takutnya.

“Aku teriak nih,” ancamku berharap pria ini akan menunjukkan rasa takutnya.

“Oh silahkan, perlu aku pinjamkan microfon?” Ucap Revan diluar dugaan dan mengotak-atik hp ditangannya setelah kemudian mengulurkan kearahku dengan keadaan microfon menyala. Membuatku kembali terdiam melihat ulah kekanak-kanakannya. Dan dengan kesal melipat kedua tanganku sambil menyandarkan kepalaku disandaran kursi aku menoleh keluar jendela, kesal.

Perjalanan menggunakan bus memang tidak semulus imaginasi. Membuat kepalaku yang masih bersandar disandaran kursi tampak mulai pusing, sebelum aku sempat mengangkat kepalaku, perlahan aku merasakan kepalaku yang digeser kearah tempat yang lebih nyaman membuatku membuka mata karena kaget.

“Kepalamu bisa pusing dengan perjalanan ini,” ucap Revan setelah berhasil menyandarkan kepalaku dibahunya. Meskipun terasa nyaman namun dengan cepat aku menarik tubuhku menjauh, menatap penuh kecurigaan kearahnya.

“Aku minta maaf,” ucap Revan perlahan dan kali ini benar-benar membuatku tidak bisa menebak arah jalan fikirannya “Maaf sudah menyita waktumu dengan tingkah kekanak-kanakanku. Sepertinya aku cukup egois dengan memaksamu kembali bicara padaku saat suasana hatimu sendiri sedang tidak tenang. Aku janji akan menurunkanmu setelah putaran berikutnya. Kamu bisa istirahat sambil menunggu jalur kembai kearah rumahmu, aku akan menjaganya,” lanjutnya dan menarikku kembali kedalam pelukannya. Astaga, untung bus sedang tidak terlalu ramai.

Aku menyadari wajahku yang terasa memanas dan menyakini wajahku sudah memerah sekarang, menghindari untuk berdebat dengan pria ini aku memperbaiki posisiku dan bersandar kearah bahunya. Kemudian aku berdehem sekali untuk mencairkan suasana, sementara fikiranku terus berputar untuk apa yang seharusnya aku katakan pada pria ini. Mendengar ucapan maafnya membuatku sedikit merasa bersalah. Namun justru semakin aku fikirkan aku malah tidak menemukan apapun untuk membalas ucapannya.

“Jangan banyak berfikir, istirahatlah dengan nyaman,” ucap Revan sambil memasangkan handset ditelinga kiriku sementara handset yang satunya bertengger ditelinganya sendiri. Terdengar alunan nada mellow yang membuatku merasa lebih nyaman, kemudian terdengar lirik lagu ‘Menghitung hari 2’ yang dinyanyikan ‘Anda’ sebagai musiknya. Dan kali ini aku hanya membiarkannya, setidaknya bahu pria ini terasa lebih nyaman.

Love at First Sight


“Masuklah,” ucap Revan sambil menghentikan langkahnya. Seperti yang ia janjikan, setelah satu putaran membiarkanku untuk turun dan ia sendiri justru melangkah mengikutiku keperumahan tempat aku tinggal, bahkan ia tidak lagi memperdulikan aku yang masih terdiam disampingnya.

“Aku pulang ya,” lanjutnya sambil tersenyum. Kemudian mengusap-usap kepalaku dengan lembut, aku menoleh kearahnya dengan fikiran yang masih menimbang-nimbang apa yang sebaiknya aku lakukan. Dan tanpa menunggu jawabanku Revan berbalik arah siap melangkah pergi.

“Revan, Maaf.” Ucapku tanpa sadar, bahkan secara Refleks aku menahan tangannya dengan kedua tanganku, aku menunduk malu sementara Revan menghentikan langkahnya, kemudian menatap kearahku, perlahan aku mengangkat wajahku dan menatap kearahnya. Tampak pandangan keget seolah tidak percaya terpancar diwajahnya, namun kemudian tergantikan dengan sebuah senyuman sambil tatapannya kearah tanganku yang masih menahan tangannya.

Menyadari tindakan itu dengan cepat aku segera melapas tanganku dengan gugup dan salah tingkah dengan apa yang aku lakukan serta bingung apa yang akan aku lakukan kemudian, perlahan aku menyadari Revan yang melangkah kearahku dari tatapannya aku sama sekali tidak tau apa yang ia fikirkan tentangku saat ini. Aku kembali menunduk karena malu.

“Katakan kamu menyukaiku, dan aku akan mengikatmu selamanya disisiku,” ucap Revan sambil menyentuh pipiku yang terasa panas, kaget aku mendongak menatap kearahnya kemudian terdiam. Ucapan itu terdengar pelan namun juga tegas sementara dimatanya sama sekali tidak terlihat cahaya kebohongan yang semakin membuatku gugup, dan seolah dikomando terasa beribu kupu-kupu sedang berterbangan diperutku, bahkan dengan susah payah aku menelan ludahku saat tenggorokanku terasa kering. Benar-benar situasi yang tidak pernah terbayangkan, ini namanya aku lagi ditembak kan???

Bersambung...

Berlanjut ke cerpen cinta love at first sight part 20

Detail cerita Love at First Sight

2 komentar:

Unknown mengatakan...

kelanjutannya ditunggu :D

Unknown mengatakan...

kelanjutannya ditunggu :D

Posting Komentar