Cerpen Cinta Love at First Sight ~ Part 13

Sepertinya admin sudah merusak satu part ini. Setelah sebelumnya cerpen cinta love at firs sight tampak romantis, kali ini admin menghancurkannya dengan beberapa hal dikarenakan efek hati yang sedang tidak bersahabat. Hohohoho,

Untuk yang penasaran sama gimana hancurnya cerpen kelanjutan kali ini. Happy reading aja ya, dan untuk yang udah lupa pada part sebelumnya. Klik aja disini.

Cerpen Cinta Love at First Sight ~ Part 13
Cerpen Cinta Love at First Sight ~ Part 13

Love at First Sight


“Hufh, untung hujan...” komentar Olive yang langsung membuatku melirik kearahnya sedikit heran. Memangnya apa yang menarik dari hujan dipagi hari, cuaca yang biasanya dingin bertambah menjadi lebih dingin. Dan tentu saja kasian untuk siswa dan siswi lainnya yang mungkin masih dijalan atau bahkan masih dirumah karena terjebak hujan dan tidak bisa berangkat kesekolah. Itu bukan sesuatu yang bagus menurutku.

“Hanya karena hari ini,” lanjut Olive seolah menjawab dari tatapan bingungku, yang balasan itu malah membuatku mengerutkan kening bingung “Jadi aku tidak perlu mengikuti upacara bendera,” tutup Olive sambil tersenyum bangga, seolah yakin dengan kalimat itu bisa membuatku mengerti kemana arah jalan fikirannya. Dan sepertinya keyakinannya itu benar, karena aku langsung mengangguk paham. Menandakan bahwa aku mengerti dengan maksud kalimatnya, senin pagi memang rutinitas untuk melakukan upacara bendera, dan hujan sudah mengguyur sejak pagi tadi, tentu saja upacara bendera tidak akan dilakukan.

“Kenapa kamu membencinya?” tanyaku skeptis.

“Aku tidak membencinya,” ralat Olive cepat sambil mengeluarkan buku dari dalam tasnya “Sudah kukatakan bukan, hanya karena hari ini. Aku mendapatkan sedikit masalah, sepertinya 30 menit cukup untuk mengerjakan PR ku yang masih terbengkalai,” lanjutnya siap dengan pena ditangan.

“Kamu belum ngerjain PR? Padahal ibu Khairani itukan guru Killer,” tanyaku kaget.

“Bukan saatnnya untuk bertanya,” kata Olive dan mulai berkonsentrasi pada soal pertamanya “Sudah tau dia Guru Killer kenapa mengganggu konsentrasiku,” keluhnya.

“Memangnya apa yang kamu lakukan minggu lalu?” tanyaku sambil geleng-geleng kepala, mengingat minggu lalu waktunya bisa digunakan untuk mengerjakan PR.

“David menggangguku,” jawab Olive asal, entah memang itu biar aku diam atau karena memang benar David mengganggunya, namun jawaban itu malah makin membuatku antusias menatap kearahnya penuh tanda tanya.

“Apa lagi yang pria gila itu lakukan?” tanyaku langsung, memaksa Olive untuk membalas pertanyaanku, namun gadis itu masih sibuk menulis dibuku latihannya membuatku kesal dan melambai-lambaikan tanganku kearah wajahnya untuk menarik perhatian dari gadis itu.

“Katakan padaku, apa lagi yang pria gila itu lakukan?” tanyaku setelah Olive menatapku kesal, aku tidak perduli dengan wajah kesalnya itu karena aku penasaran.

“Aku sama sekali tidak mendengar pertanyaanmu sekarang,” ucap Olive tajam yang aku yakini ia sedang sangat kesal, meskipun masih penasaran dengan jawabannya aku terpasa diam saat Olive menunjukkan jam tangannya, bukan karena gadis itu mau pamer jam barunya. Tapi karena jarum jam itu yang tampak semakin berjalan cepat. Dan akhirnya membuatku mengalah dengan membiarkan gadis itu menyelesaikan PR nya.

Love at First Sight


Aku tidak menyangka jika si David songong itu masih mengganggu Olive, sepertinnya aku butuh bantuan Revan untuk mencari solusinya, karena aku sudah melabraknya namun tidak ada hasilnya. Dan berani-beraninya pria itu membuat sahabatku kesusahan. Awas saja dia nanti.

Hampir 15 menit langkahku keliling sekolah ini namun masih belum menemukan makhluk yang aku sukai itu. Kira-kira Revan kemana ya, kok aku belum menemukannya sejak tadi, biasanya pria itu juga suka nongol dimanapun aku berada. Aneh sekali, dan saat akhirnya aku menemukannya tanganku langsung terangkat siap melambai kearahnya untuk menyapanya.

Namun, sebelum kalimat sapaan itu keluar dari mulutku, langkahku langsung melambat saat menyadari Revan sedang tidak sendiri, tampak pria itu sedang berjalan beriringan dengan seorang gadis yang sepertinya masih asing dimataku, sepertinya sejauh aku mengenal Revan aku tidak pernah melihat gadis ini dimanapun.

“Jadi itu mantannya Revan?” kalimat bernada tanya itu membuatku memutarkan pandanganku dengan cepat, dan langsung menyadari dua orang gadis yang tampak sedang mengamati Revan dan seseorang yang sedang berjalan disampingnya.

“Aku dengar begitu, dan kabarnya gadis itu sengaja mengejar Revan hingga pindah kesekolah ini meskipun sudah kelas tiga. Aku curiga jika Revan masih menyukai gadis itu karena sejauh aku mengamatinya. Revan belum pernah pacaran sejak putus dari Aura,” jawaban gadis disamping gadis berkacamata yang tadi bertanya membuat kedua kakiku tampak lemas.

“Gadis itu cantik, sudah pasti Revan susah move on. Dan dibandingkan dengan gadis yang baru-baru ini dekat dengannya, aku yakin Aura lebih pantas untuk Revan,” balasan dari gadis berkacamata membuatku mengulurkan tangan kearah tembok disampingku, menahan agar tubuhku tidak terjatuh. Bukan hanya karena itu memalukan, tapi juga karena aku tidak mau membuat kedua gadis itu menyadari keberadaanku.

Fakta tentang mantan Revan yang mengejarnya hingga pindah sekolah itu membuatku seolah merutuki diri sendiri, entah kesal pada siapa. Dan hal ini membuat fikiranku seolah blank, selain kenyataan bahwa aku semakin mencintai pria itu. Sepertinya hal ini tidak akan menjadi sesakit dan sesulit ini jika pada awalnya Revan tidak pernah mengatakan menyukai, mendekatiku bahkan selalu ada untukku.

Tuhhaann, ini tidak adil.! Bahkan aku belum mengatakan bahwa aku menyukainya. Bagaimana mungkin pria itu bisa membuatku sesulit ini, sepertinya aku berharap Bumi menelanku detik ini juga. Aku tidak mau menemui Revan lagi, tidak jika aku harus merelakannya pergi bersama gadis lain. Lebih baik Revan hanya menjadi seseorang yang aku kagumi dengan berbagai imaginasiku, daripada harus membiarkan pria itu merusaknya dengan tindakannya.

Love at First Sight


Aku melangkah gontai meninggalkan kelasku, tidak memperdulikan apapun kalimat yang Olive katakan, bahkan meskipun gadis itu mengira bahwa aku marah karena dia masih berurusan dengan David. Aku sama sekali sedang tidak ingin bicara, tidak ingin melakukan apapun. Sepertinya tenagaku menguap begitu saja, meninggalkan aku yang hanya seonggok daging tanpa mempunyai tujuan. Sengsara,

Aku merasakan seseorang yang merangkul pundakku dengan santai. Namun aku tidak memperdulikannya, bahkan aku tidak mau repot-repot untuk melihat siapa yang merangkulku dengan sok akrab ini. Langkahku masih kedepan dengan gontai.

“Hei, dari tadi dipanggilin juga. Kagak nengok-nengok,” hanya dengan mendengar suaranya saja tubuhku langsung kaku dan menghentikan langkahku, aku tidak mau melihat pria ini. Dan sekuat tenaga untuk menahan air mata yang hampir menerobos keluar dari pelupuk mataku “Aku kangen, nggak melihat kamu satu harian ini,” lanjutnya dengan santai dan tanpa melihatnya pun aku yakin dia tersenyum sumringah. Tanpa menyadari perubahan expresiku yang aku yakini menakutkan.

“Ada yang mau aku katakan padamu, kita makan siang dulu yuk,” ucap Revan sambil melepaskan rangkulan dibahuku dan melangkah kedepanku, memaksaku untuk membalas tatapannya. Dan tentu saja aku berusaha mati-matian untuk menatap kearahnya. Dan sejauh aku mengenal pria ini, belum pernah aku melihatnya tampak sebahagia ini.

Bayangan Aura, gadis yang bersamanya tadi langsung tergambar jelas. Dan aku yakin alasan dari wajah sumringah dihadapanku ini pasti karena gadis itu. Karena ia sudah kembali bisa bersama dengan mantannya. Yah, pria mana sih yang akan menolak gadis secantik Aura bahkan gadis itu sendiri memaksakan diri untuk mengejarnya hingga pindah disekolah yang sama. Revan pasti sangat bahagia.

“Hei, kok malah bengong sih. Ntar kesambet loh,” ucap Revan sambil menjentikkan jarinya, menarikku dari lamunan panjangku “Aku yang traktir deh,” lanjutnya masih dengan senyuman menawannya yang dengan bodohnya malah membuatku terpesona.

“Aku,...” bahkan suaraku sulit untuk keluar “Tidak bisa,” lanjutku lemah. Sepertinya aku belum sanggup untuk melepaskan pria ini langsung. Lagian, mau dia kembali pada mantannya juga bukan urusanku bukan? Aku bukan siapa-siapa untuknya, dan jelas saja aku tidak akan melarangnya. Jadi Revan tidak perlu untuk meminta izin atau hanya ingin mengataknnya padaku. Aku sama sekali tidak butuh akan informasi itu.

“Kenapa? Kamu udah punya rencanya ya? Aku anterin ya,” tawar Revan dan senyuman cerah itu tampak sedikit hilang dari wajah tampannya.

“Aku,...” bingung dengan alasan yang ingin aku katakan membuatku terdiam sesaat. Memangnya apa yang ingin aku katakan pada Revan, waktuku harus ku habiskan dengan menangis sepanjang hari dikamar mengenang semua tentang pria ini. Atau harus mencari alasan lain yang sepertinya sama sekali tidak bisa aku fikirkan ini.

“Revan...” saat aku sibuk dengan fikiranku sendiri, aku mendengar seseorang memanggil dibelakang dengan langkah kaki yang menghampiri. Suara seorang gadis, cukup merdu “Pulang bareng yuk, rumah kita searah kan? Aku sengaja tidak menelepon supirku untuk pulang bersamamu,” lanjut gadis itu yang kini sudah berdiri tepat diantara aku dan Revan. Kusadari Revan mundur dua langkah, menyisakan beberapa jarak diantara aku dan dirinya, membuatku yakin pria ini pasti tidak ingin membuat Gadis ini salah faham.

“Wahh, aku sudah ada janji mau ngantar Devi,” ucap Revan dengan wajah bersalah. Membuat Aura yang tadi tersenyum tampak mengedurkan senyumnya dan menatap kearahku. Expresinya sulit untuk diartikan, aku sama sekali tidak bisa membaca dari tatapannya.

“Oh, begituya... jadi kamu mau pulang bareng Revan?” tanya Aura kearahku “Yaahh padahal aku belum ada yang jemput. Bakalan lama untuk menunggu sopirku datang,” lanjutnya dengan tampa rasa bersalah sedikit pun. Menjengkelkan, aku sama sekali tidak menyukai gadis ini.

“Tidak, aku bisa pulang sendiri. Revan bisa mengantarmu kok, kalau begitu aku permisi...” ucapku langsung dan tanpa menunggu jawaban Revan langsung melangkah pergi.

“Tapi dev,...” bahkan Revan tidak sempat menahanku karena seklias aku melihat Aura yang menahan tangannya. Aku tidak mau tau lagi kelanjutan dari kisah mereka. Yang jelas, saat ini aku beneran mau pulang. Aku yakin aku bisa membuat Revan untuk memilihku, namun pulang bersama Revan hari ini juga bukan pilihan yang tepat. Yaahh meskipun membiarkan Revan pulang bersama gadis itu juga menyakitkan. Arrgghh, terserahlah. Pokoknya aku mau pulang.

To be continue...

Gimana gimana gimana... admin beneran menghancurkan part ini bukan? yah kalau begitu ketemu di cepen selanjutnya ya. Love at first part 14

Detail cerpen Love at Firs Sight

Tidak ada komentar:

Posting Komentar