Masih dengan tema yang sama ngerapiin Cerpen cinta my Idola yang kali ini lanjut ke part 03.
Untuk yang sudah lupa sama part sebelumnya, bisa langsung dicek disini. Happy reading...
"Ivan," panggil gue sedikit ragu, saat menyapa Ivan yang tampak sedang dikerumuni cewek-cewek, pria itu menoleh. Begitu juga dengan beberapa cewek lainnya, meskipun namanya tidak dipanggil, bedanya tatapan mereka tampak lebih terlihat mengitimidasi. Ini pertama kalinya gue ketemu dia setelah keluar dari rumah sakit, namun tampaknya ia tidak pernah dalam keadaan sendiri, akhirnya membuat gue nekat untuk menyapanya sekarang.
"Kenapa?" Tanya Ivan saat gue hanya diam terpaku, tidak melanjutkan maksud kedatangan gue meskipun ia sudah menoleh.
"Ada waktu sebentar, gue mau ngomong..." jawab gue sedikit mengecilkan volume. Dan meskipun begitu, benar saja dugaan gue. Tatapan dari anak-anak cewek ini langsung nembus meskipun gue tidak menatap kearah mereka. Jelas ketidak sukaan itu terpancar dari aura yang tiba-tiba menguar diudara.
"Bolleh," ucapnya sebelum kemudian berdiri dan melangkah mendahului gue, namun karena masih tidak menduga akan reaksinya, gue masih berdiam diri ditempat "Ikut gue," lanjutnya sambil menarik tangan gue menjauh. Mengikutinya untuk kemanapun ia akan pergi, meninggalkan cewek-cewek yang masih menatap penuh nafsu membunuh dimatanya, bahkan tidak membiarkan salah satu dari mereka sempat menahan tindakannya yang menggenggam tangan gue. Dalam hati gue berujar, semoga saja setelah ini gue masih diberi kesempatan untuk bernafas.
"Gue bisa jalan sendiri," protes mulut gue walau tangan gue sendiri justru tetap menerima genggaman ringan yang terasa hangat itu langsung menjalari tubuh gue, dan membuat reaksi pada jantung yang langsung berdetak dengan cepat.
"Berisik," balasnya cuek. Kemudian melangkah menaiki tangga yang gue yakini tujuannya cuma satu, Atap kampus. Gue pernah beberapa kali disini, tempat dimana gue yang beberapa kali bisa memperhatikan Ivan secara diam-diam, tempat yang gue yakini sebagai tempat teraman gue untuk melihat kearahnya yang tidak sedang menatap kearah gue. Dan seringnya balik dari tempat inilah, gue secara kebetulan yang terus berlanjut mendapatinya sedang putus dengan pacarnya dikoridor bawah.
“Loe mau ngomong apa.?” Pertanyaan Ivan menyadarkan gue dari lamunan, dan dengan cepat gue melepas genggaman tangan yang menenangkan itu dengan perasaan sedikit nggak rela.
“Ehem, gue... Mau memberikan ini buat loe,” kata gue sambil mengeluarkan kotak kecil dari saku dan menyerahkan kearahnya “Sebagai Ucapan Terimakasih serta maaf gue sama loe,” lanjut gue sebelum dia berfikiran yang macem-macem.
“Satu hadiah buat dua permintaan.?” Tanyanya sambil mengangkat kotak kecil yang diambilnya dari tangan gue. Membuat gue berusaha mati-matian menahan emosi gue melihat jawabannya. Masih sukur gue mau mengucapkan makasih. Huh, dasar...
"Atau, mungkin loe membutuhkan sesuatu untuk membalasnya?" gue masih berusaha untuk bersabar. Setidaknya pria ini sudah menyelamatkan nyawa gue, bahkan gue sudah terlalu banyak ngerepotin dia. Mulai dari ngejagain sampai biaya rumah sakit, meskipun yang dilakukannya itu tindakan wajar, mengingat apa yang terjadi sama gue juga karena nyelametin dia. Tapi gue masih merasa nggak enak dan harus sedikit menyenangkannya.
"Ucapan maaf loe diterima, tapi untuk ucapan terimakasih, gue mau loe..." ucap Ivan sedikit menggantung. Entah apa yang sedang ia fikirkan saat menatap gue penuh tanya, sementara gue sendiri jelas bingung harus menjawab apa. Dan akhirnya hanya mengangkat alis tanda ikut bertanya, "Jadi pacar gue," lanjutnya cepat.
"Loe boleh lupakan permintaan gue tadi," balas gue langsung dan siap melangkah pergi, namun justru ia malah menahan tangan gue dengan cepat.
"Loe nggak niat buat bilang terimakasih kan?" tudingnya langsung yang membuat gue menatapnya kesal.
"Dengan permintaan gila yang loe sebutkan? Oke, anggap saja gue memang bukan orang yang tau terimakasih," jawab gue berusaha setenang mungkin.
"Kenapa pacaran sama gue dianggap permintaan gila?" tanya Ivan dengan polosnya.
"Pacaran yang akhirnya juga bakal elo putusin tepat jam 9 pagi?" ucap gue dengan nada tanya "Tidak. Gue belum tertarik," lanjut gue.
"Belum bukan berarti tidak," simpul Ival langsung "Tapi siapa yang mengatakan gue bakal mutusin elo jam 9 pagi?" tanyanya yang sepertinya baru mencerna ucapan gue sebelumnya. Gue menatapnya sambil berfikir alasan apa yang sebaiknya gue katakan, nggak lucu kan kalau gue mengatakan selalu melihatnya mengulai kegiatannya itu?
"Loe nggak jadi stalker gue selama sebulan ini kan?" tuduhnya yang langsung tepat sasaran.
"Ehem, karena kita sudah sepakat. Sepertinya gue harus balik sekarang," ucap gue berusaha untuk menghindar. Dan lagi, pria itu berhasil menahan langkah gue.
"Loe nggak berusaha untuk menawar,?" tanya Ivan yang asli membuat gue menahan tawa mati-matian. See, dia masih bisa bertindak ngegemesin.
"Dan loe punya tawaran lain?" tanya gue balik yang membuatnya menatap gue gemes.
"Mulai sekarang, berusahalan untuk menatap gue," jawabnya setelah berfikir sesaat.
"Haa?" tanya gue kaget.
"Gampang kan? Gue jamin loe nggak bakalan rugi," ucapnya kemudian.
"Berikan gue satu alasan kenapa itu tidak merugikan," balas gue yang lagi-lagi membuatnya menatap gue kesal.
"Loe punya banyak alasan, seperti yang loe tau gue itu ganteng," ucapnya yang langsung membuat gue memutar bola mata merasa enek "Gue juga tajir," lanjutnya nggak mau kalah "Gue salah satu idola dikampus," gue masih menatap sinis kearahnya "Dan gue paling bisa membuat cewek-cewek bahagia," tegasnya kemudian.
"Sayangnya dimata gue, satu kenyataan keplayboyan loe justru mematahkan semua alasan yang loe ucapkan. Sorry, gue belum terteraik sama cowok playboy," jawabku yakin.
"Sekali lagi gue katakan, bukan berarti tidak," lanjutnya tidak mau kalah.
"Gue masih belum tertarik," ucap gue males dan kembali siap melangkah pergi dan untuk kesekian kalinya juga menahan gue tetap ditempat.
"Jangan pernah coba-coba pergi dari sisi gue," ucapnya tegas, setelah kemudian pria itu mendorong gue kedinding dan menahan gue untuk pergi dengan berdiri tepat didepan gue. Wajahnya jelas terlihat frustasi, gue sama sekali tidak tau apa yang ia fikirkan. Tapi dengan jarak wajah diantara kita membuat fikiran gue sama halnya tidak ada ditempat.
"Menyingkir. Dari. Hadapan. Gue. Se-Ka-Rang.!" ucap gue berusaha tegas dengan fikiran waras yang masih tersisa, bahkan gue berusaha untuk menekankan setiap kalimat yang bisa gue katakan.
"Kenapa, loe gerogi ya?" tanyanya dengan menyeringai. Seolah merasa menang dengan melihat keadaan gue yang tidak berkutik, gue menatapnya dengan tajam. Sebisa mungkin meredam detak jantung gue yang justru makin menggila. Bahkan setengah dari jiwa gue berfikir macam-macam tentang bibirnya yang sedang menyeringai manis tidak jauh dari jarak pandangan gue, yang gue yakinin kalau gue bergerak sedikit saja, pasti bibir itu...
"Ini sudah sama sekali tidak lucu," ucap gue memotong apapun fikiran gila yang gue bayangkan dan berusaha untuk kembali pada kenyataan yang ada. Tapi ucapan gue justru membuat pria itu lebih emosi lagi, yang membuatnya menatap gue intens, kemudian perlahan mendekatkan wajahnya kearah gue yang entah refleks atau bodoh malah menutup mata. Hembusan nafas berat itu sedikit membebani gue karena detakan jantung yang justru malah menggila, tapi secepat nafas itu terasa dekat, secepat itu juga keadaan berbalik pergi. Perlahan gue memberanikan diri membuka mata saat yakin pria itu melangkah mundur, memberikan gue kesempatan untuk bernafas lega.
"sial, Akibatnya lebih parah dari yang gue duga," ucapnya pelan seolah untuk dirinya sendiri. Kemudian menatap tajam kearah gue yang masih mematung ditempat "Dan elo, tunggu aja apa yang bisa gue lakukan untuk membuat loe menatap gue," lanjutnya yang kemudian melangkah pergi.
Masih dengan sedikit kesadaran yang gue kumpulkan setelah berserakan dimana-mana, gue berusaha untuk menarik nafas panjang dan mengeluarkan secara perlahan. Oksigen terasa menipis saat ini, lebih buruk dari yang gue duga. Efek dari pria itu justru malah membuat perasaan gue sendiri tidak karuan. Astaga, memangnya apa yang gue fikirkan sampai harus gue harus menutup mata.
"Mau gue bantuin nona manis?" pertanyaan dengan nada yang jelas dimanis-manisin itu sama sekali tidak membuat gue menoleh. Karena tanpa melihatpun gue bisa tau siapa pemilik suara tidak diundang itu. Siapa lagi kalau bukan si Ivan, pria songong diantara yang paling songong, sudah beberapa hari ini tingkahnya benar-benar berbanding balik dari selama gue mengenalnya.
Setiap hari terus saja berseliweran disamping gue, persis kayak nyamuk yang ngeganggu pas tidur. Berdengung aja bikin risih gitu, sama nih kayak anak satu. Nyerocos aja kalau ngomong, nggak pake titik koma, padahal jelas-jelas udah gue cuekin. Dan jelas saja tindakannya makin membuat musuh gue semakin banyak. Meskipun dia selalu ada disaat beberapa cewek mulai mendekati gue dengan tatapan membunuh, jadi gue nggak punya pilihan lain selain tetap membiarkannya berada tidak jauh dari gue, kan nggak lucu kalau gue sempet dibully seperti sinetron-sinetron yang lagi semaraknya dimedia.
"Aduh," keluhku yang tanpa sadar kini sudah berada ditepi dinding dengan Ivan yang berdiri tepat didepan gue, heran banget sama kelakukannya. Suka banget nahan gue didepan dinding kayak gini, nggak bisa yang normal aja apa kelakunya.
"Anggap gue itu ada, bisa?" ucap Ivan tampak kesal, gue memutar bola mata enek. Kesal dengan tingkahnya yang sembarangan, tapi pria ini masih berdiri dengan posisinya, menatap tajam kearah gue untuk mendengar jawaban.
"Aduh, loe apa banget deh. Buku gue jadi berserakan tau," ucap gue mengalihkan pembicaraan. Pria itu menarik tubuhnya menjauh, kemudian berjongkok untuk mengumpulkan buku yang berserakan dilantai, gue kemudian melakukan hal yang sama.
"Kenapa loe menghindari gue terus," ucap Ivan tiba-tiba, gue mengehentikan mengumpulkan buku-buku dan menatap kearahnya yang masih fokus mengumpulkan buku-bukunya.
"Loe menakutkan," ucap gue jujur yang membuatnya balas menatap gue, setelah meletakkan buku terakhir ditumpukan tangannya.
"Bukannya ini yang loe mau? Menjadi seseorang yang terus menatap loe dan menghindari cewek-cewek itu," balas Ivan perlahan yang kali ini tampak tidak seperti biasanya. Ada apa lagi dengan ini anak, sudah capek jadi orang baik apa. Tapi memang tingkahnya nakutin sih, tiba-tiba saja jadi perhatian. Tiba-tiba saja cuek sama cewek-cewek lain, tiba-tiba saja selalu ngebuntutin gue kemana-mana, bahkan nggak pernah lagi gue lihat dia mutusin cewek.
"Gue nggak pernah minta kan?" tanya gue dengan nada lelah "Loe berubah jadi orang yang menakutkan buat gue," lanjut gue yang membuatnya menatap gue tanpa kata "Loe memang sudah nggak playboy lagi, tapi sikap lebay loe membuat gue risih, seolah loe melakukannya bukan dari hati loe dan ada maksud lain atas apa yang loe lakukan. Gue cuma nggak mau kalau gue harus jatuh cinta sama orang yang bakalan nyakitin hati gue," lanjutku yang kemudian tampa sengaja malah menatpa kearah pergelangan tangannya. Tampak gelang yang pernah gue berikan sebelumnya sebagai tanda maaf gue bertengger dipergelangan tangannya.
"Atau alasan utama gue adalah, karena gue nggak mau kalau gue malah harus ngebenci elo nantinya," putus gue langsung sambil meraih buku ditangannya yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Pria itu masih berjongkok ditempatnya, dan gue lebih memilih untuk melangkah pergi. Meninggalkannya yang masih terdiam mencerna ucapan gue, walau sejujurnya ini juga berat. Bukan berat karena meninggalkannya, tapi berat karena pria itu tidak jadi membantu gue membawa buku-bukunya.
Bersambung ke Cerpen Cinta My Idola part 04
Detail cerita My Idola
Untuk yang sudah lupa sama part sebelumnya, bisa langsung dicek disini. Happy reading...
Cerpen cinta My Idola
"Ivan," panggil gue sedikit ragu, saat menyapa Ivan yang tampak sedang dikerumuni cewek-cewek, pria itu menoleh. Begitu juga dengan beberapa cewek lainnya, meskipun namanya tidak dipanggil, bedanya tatapan mereka tampak lebih terlihat mengitimidasi. Ini pertama kalinya gue ketemu dia setelah keluar dari rumah sakit, namun tampaknya ia tidak pernah dalam keadaan sendiri, akhirnya membuat gue nekat untuk menyapanya sekarang.
"Kenapa?" Tanya Ivan saat gue hanya diam terpaku, tidak melanjutkan maksud kedatangan gue meskipun ia sudah menoleh.
"Ada waktu sebentar, gue mau ngomong..." jawab gue sedikit mengecilkan volume. Dan meskipun begitu, benar saja dugaan gue. Tatapan dari anak-anak cewek ini langsung nembus meskipun gue tidak menatap kearah mereka. Jelas ketidak sukaan itu terpancar dari aura yang tiba-tiba menguar diudara.
"Bolleh," ucapnya sebelum kemudian berdiri dan melangkah mendahului gue, namun karena masih tidak menduga akan reaksinya, gue masih berdiam diri ditempat "Ikut gue," lanjutnya sambil menarik tangan gue menjauh. Mengikutinya untuk kemanapun ia akan pergi, meninggalkan cewek-cewek yang masih menatap penuh nafsu membunuh dimatanya, bahkan tidak membiarkan salah satu dari mereka sempat menahan tindakannya yang menggenggam tangan gue. Dalam hati gue berujar, semoga saja setelah ini gue masih diberi kesempatan untuk bernafas.
"Gue bisa jalan sendiri," protes mulut gue walau tangan gue sendiri justru tetap menerima genggaman ringan yang terasa hangat itu langsung menjalari tubuh gue, dan membuat reaksi pada jantung yang langsung berdetak dengan cepat.
"Berisik," balasnya cuek. Kemudian melangkah menaiki tangga yang gue yakini tujuannya cuma satu, Atap kampus. Gue pernah beberapa kali disini, tempat dimana gue yang beberapa kali bisa memperhatikan Ivan secara diam-diam, tempat yang gue yakini sebagai tempat teraman gue untuk melihat kearahnya yang tidak sedang menatap kearah gue. Dan seringnya balik dari tempat inilah, gue secara kebetulan yang terus berlanjut mendapatinya sedang putus dengan pacarnya dikoridor bawah.
“Loe mau ngomong apa.?” Pertanyaan Ivan menyadarkan gue dari lamunan, dan dengan cepat gue melepas genggaman tangan yang menenangkan itu dengan perasaan sedikit nggak rela.
“Ehem, gue... Mau memberikan ini buat loe,” kata gue sambil mengeluarkan kotak kecil dari saku dan menyerahkan kearahnya “Sebagai Ucapan Terimakasih serta maaf gue sama loe,” lanjut gue sebelum dia berfikiran yang macem-macem.
“Satu hadiah buat dua permintaan.?” Tanyanya sambil mengangkat kotak kecil yang diambilnya dari tangan gue. Membuat gue berusaha mati-matian menahan emosi gue melihat jawabannya. Masih sukur gue mau mengucapkan makasih. Huh, dasar...
"Atau, mungkin loe membutuhkan sesuatu untuk membalasnya?" gue masih berusaha untuk bersabar. Setidaknya pria ini sudah menyelamatkan nyawa gue, bahkan gue sudah terlalu banyak ngerepotin dia. Mulai dari ngejagain sampai biaya rumah sakit, meskipun yang dilakukannya itu tindakan wajar, mengingat apa yang terjadi sama gue juga karena nyelametin dia. Tapi gue masih merasa nggak enak dan harus sedikit menyenangkannya.
"Ucapan maaf loe diterima, tapi untuk ucapan terimakasih, gue mau loe..." ucap Ivan sedikit menggantung. Entah apa yang sedang ia fikirkan saat menatap gue penuh tanya, sementara gue sendiri jelas bingung harus menjawab apa. Dan akhirnya hanya mengangkat alis tanda ikut bertanya, "Jadi pacar gue," lanjutnya cepat.
"Loe boleh lupakan permintaan gue tadi," balas gue langsung dan siap melangkah pergi, namun justru ia malah menahan tangan gue dengan cepat.
"Loe nggak niat buat bilang terimakasih kan?" tudingnya langsung yang membuat gue menatapnya kesal.
"Dengan permintaan gila yang loe sebutkan? Oke, anggap saja gue memang bukan orang yang tau terimakasih," jawab gue berusaha setenang mungkin.
"Kenapa pacaran sama gue dianggap permintaan gila?" tanya Ivan dengan polosnya.
"Pacaran yang akhirnya juga bakal elo putusin tepat jam 9 pagi?" ucap gue dengan nada tanya "Tidak. Gue belum tertarik," lanjut gue.
"Belum bukan berarti tidak," simpul Ival langsung "Tapi siapa yang mengatakan gue bakal mutusin elo jam 9 pagi?" tanyanya yang sepertinya baru mencerna ucapan gue sebelumnya. Gue menatapnya sambil berfikir alasan apa yang sebaiknya gue katakan, nggak lucu kan kalau gue mengatakan selalu melihatnya mengulai kegiatannya itu?
"Loe nggak jadi stalker gue selama sebulan ini kan?" tuduhnya yang langsung tepat sasaran.
"Ehem, karena kita sudah sepakat. Sepertinya gue harus balik sekarang," ucap gue berusaha untuk menghindar. Dan lagi, pria itu berhasil menahan langkah gue.
"Loe nggak berusaha untuk menawar,?" tanya Ivan yang asli membuat gue menahan tawa mati-matian. See, dia masih bisa bertindak ngegemesin.
"Dan loe punya tawaran lain?" tanya gue balik yang membuatnya menatap gue gemes.
"Mulai sekarang, berusahalan untuk menatap gue," jawabnya setelah berfikir sesaat.
"Haa?" tanya gue kaget.
"Gampang kan? Gue jamin loe nggak bakalan rugi," ucapnya kemudian.
"Berikan gue satu alasan kenapa itu tidak merugikan," balas gue yang lagi-lagi membuatnya menatap gue kesal.
"Loe punya banyak alasan, seperti yang loe tau gue itu ganteng," ucapnya yang langsung membuat gue memutar bola mata merasa enek "Gue juga tajir," lanjutnya nggak mau kalah "Gue salah satu idola dikampus," gue masih menatap sinis kearahnya "Dan gue paling bisa membuat cewek-cewek bahagia," tegasnya kemudian.
"Sayangnya dimata gue, satu kenyataan keplayboyan loe justru mematahkan semua alasan yang loe ucapkan. Sorry, gue belum terteraik sama cowok playboy," jawabku yakin.
"Sekali lagi gue katakan, bukan berarti tidak," lanjutnya tidak mau kalah.
"Gue masih belum tertarik," ucap gue males dan kembali siap melangkah pergi dan untuk kesekian kalinya juga menahan gue tetap ditempat.
"Jangan pernah coba-coba pergi dari sisi gue," ucapnya tegas, setelah kemudian pria itu mendorong gue kedinding dan menahan gue untuk pergi dengan berdiri tepat didepan gue. Wajahnya jelas terlihat frustasi, gue sama sekali tidak tau apa yang ia fikirkan. Tapi dengan jarak wajah diantara kita membuat fikiran gue sama halnya tidak ada ditempat.
"Menyingkir. Dari. Hadapan. Gue. Se-Ka-Rang.!" ucap gue berusaha tegas dengan fikiran waras yang masih tersisa, bahkan gue berusaha untuk menekankan setiap kalimat yang bisa gue katakan.
"Kenapa, loe gerogi ya?" tanyanya dengan menyeringai. Seolah merasa menang dengan melihat keadaan gue yang tidak berkutik, gue menatapnya dengan tajam. Sebisa mungkin meredam detak jantung gue yang justru makin menggila. Bahkan setengah dari jiwa gue berfikir macam-macam tentang bibirnya yang sedang menyeringai manis tidak jauh dari jarak pandangan gue, yang gue yakinin kalau gue bergerak sedikit saja, pasti bibir itu...
"Ini sudah sama sekali tidak lucu," ucap gue memotong apapun fikiran gila yang gue bayangkan dan berusaha untuk kembali pada kenyataan yang ada. Tapi ucapan gue justru membuat pria itu lebih emosi lagi, yang membuatnya menatap gue intens, kemudian perlahan mendekatkan wajahnya kearah gue yang entah refleks atau bodoh malah menutup mata. Hembusan nafas berat itu sedikit membebani gue karena detakan jantung yang justru malah menggila, tapi secepat nafas itu terasa dekat, secepat itu juga keadaan berbalik pergi. Perlahan gue memberanikan diri membuka mata saat yakin pria itu melangkah mundur, memberikan gue kesempatan untuk bernafas lega.
"sial, Akibatnya lebih parah dari yang gue duga," ucapnya pelan seolah untuk dirinya sendiri. Kemudian menatap tajam kearah gue yang masih mematung ditempat "Dan elo, tunggu aja apa yang bisa gue lakukan untuk membuat loe menatap gue," lanjutnya yang kemudian melangkah pergi.
Masih dengan sedikit kesadaran yang gue kumpulkan setelah berserakan dimana-mana, gue berusaha untuk menarik nafas panjang dan mengeluarkan secara perlahan. Oksigen terasa menipis saat ini, lebih buruk dari yang gue duga. Efek dari pria itu justru malah membuat perasaan gue sendiri tidak karuan. Astaga, memangnya apa yang gue fikirkan sampai harus gue harus menutup mata.
Cerpen cinta My Idola
"Mau gue bantuin nona manis?" pertanyaan dengan nada yang jelas dimanis-manisin itu sama sekali tidak membuat gue menoleh. Karena tanpa melihatpun gue bisa tau siapa pemilik suara tidak diundang itu. Siapa lagi kalau bukan si Ivan, pria songong diantara yang paling songong, sudah beberapa hari ini tingkahnya benar-benar berbanding balik dari selama gue mengenalnya.
Setiap hari terus saja berseliweran disamping gue, persis kayak nyamuk yang ngeganggu pas tidur. Berdengung aja bikin risih gitu, sama nih kayak anak satu. Nyerocos aja kalau ngomong, nggak pake titik koma, padahal jelas-jelas udah gue cuekin. Dan jelas saja tindakannya makin membuat musuh gue semakin banyak. Meskipun dia selalu ada disaat beberapa cewek mulai mendekati gue dengan tatapan membunuh, jadi gue nggak punya pilihan lain selain tetap membiarkannya berada tidak jauh dari gue, kan nggak lucu kalau gue sempet dibully seperti sinetron-sinetron yang lagi semaraknya dimedia.
"Aduh," keluhku yang tanpa sadar kini sudah berada ditepi dinding dengan Ivan yang berdiri tepat didepan gue, heran banget sama kelakukannya. Suka banget nahan gue didepan dinding kayak gini, nggak bisa yang normal aja apa kelakunya.
"Anggap gue itu ada, bisa?" ucap Ivan tampak kesal, gue memutar bola mata enek. Kesal dengan tingkahnya yang sembarangan, tapi pria ini masih berdiri dengan posisinya, menatap tajam kearah gue untuk mendengar jawaban.
"Aduh, loe apa banget deh. Buku gue jadi berserakan tau," ucap gue mengalihkan pembicaraan. Pria itu menarik tubuhnya menjauh, kemudian berjongkok untuk mengumpulkan buku yang berserakan dilantai, gue kemudian melakukan hal yang sama.
"Kenapa loe menghindari gue terus," ucap Ivan tiba-tiba, gue mengehentikan mengumpulkan buku-buku dan menatap kearahnya yang masih fokus mengumpulkan buku-bukunya.
"Loe menakutkan," ucap gue jujur yang membuatnya balas menatap gue, setelah meletakkan buku terakhir ditumpukan tangannya.
"Bukannya ini yang loe mau? Menjadi seseorang yang terus menatap loe dan menghindari cewek-cewek itu," balas Ivan perlahan yang kali ini tampak tidak seperti biasanya. Ada apa lagi dengan ini anak, sudah capek jadi orang baik apa. Tapi memang tingkahnya nakutin sih, tiba-tiba saja jadi perhatian. Tiba-tiba saja cuek sama cewek-cewek lain, tiba-tiba saja selalu ngebuntutin gue kemana-mana, bahkan nggak pernah lagi gue lihat dia mutusin cewek.
"Gue nggak pernah minta kan?" tanya gue dengan nada lelah "Loe berubah jadi orang yang menakutkan buat gue," lanjut gue yang membuatnya menatap gue tanpa kata "Loe memang sudah nggak playboy lagi, tapi sikap lebay loe membuat gue risih, seolah loe melakukannya bukan dari hati loe dan ada maksud lain atas apa yang loe lakukan. Gue cuma nggak mau kalau gue harus jatuh cinta sama orang yang bakalan nyakitin hati gue," lanjutku yang kemudian tampa sengaja malah menatpa kearah pergelangan tangannya. Tampak gelang yang pernah gue berikan sebelumnya sebagai tanda maaf gue bertengger dipergelangan tangannya.
"Atau alasan utama gue adalah, karena gue nggak mau kalau gue malah harus ngebenci elo nantinya," putus gue langsung sambil meraih buku ditangannya yang sudah ia kumpulkan sebelumnya. Pria itu masih berjongkok ditempatnya, dan gue lebih memilih untuk melangkah pergi. Meninggalkannya yang masih terdiam mencerna ucapan gue, walau sejujurnya ini juga berat. Bukan berat karena meninggalkannya, tapi berat karena pria itu tidak jadi membantu gue membawa buku-bukunya.
Bersambung ke Cerpen Cinta My Idola part 04
Detail cerita My Idola
- Judul cerpen : My Idola Part 03
- Penulis : Mia mulyani
- Panjang : 1.680 Word
- Serial : 03 - 05
- Genre : Cinta, Romantis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar