Halloo... admin muncul lagi nih, dan kali ini masih membawa cerpen yang sama, eh cerbung maksudnya. Kan bersambung, hohoho yang judulnya Love at first sight ~02 itu loh, masih inget kan? Kalau enggak ya diinget-ingetin deh #Maksa, wkwkwkkwkw...
Oke, buat yang udah lupa sama part sebelumnya bisa diliat disini Love at first sight ~ 01 happy reading yaa...
Lelah. Hari ini cukup melelahkan, sepulang sekolah aku langsung merbahkan tubuhku diatas ranjang kamar. Mencoba memikirkan kembali apa yang Olive katakan tadi, menyatakan cinta pada Revan? memangnya itu akan baik-baik saja? Ahk sepertinya tidak, itu benar-benar memerlukan kekuatan ekstra, aku tidak akan mampu melakukannya. Kemudian mataku menoleh kesekeliling ruangan, semua dinding kamar ku terpajang semua foto-foto Revan, dari ukuran yang paling kecil hingga yang paling besar. Dan semuanya perhatian Revan tidak pada kamera. Membuktikan kalau aku mendapatkan foto itu dengan objek yang sedang tidak fokus kearah kamera.
Tentu saja, karena tidak mungkin aku mendapatkan fotonya kalau aku memintanya menatap kearah kamera, namun hal itu tentu makin membuat foto hasil jepretanku tampak lebih asli dari pada harus menunjukkan ekspresinya, maksudku ini adalah ekspresi Revan sesungguhnya, benar-benar cukup alami tanpa ditambah dengan ekspresi lainnya.
Seulas senyum tampak mengembang dibibirku, entah sampai kapan aku bisa menyembunyikan rasa yang aku miliki, karena semakin aku mencintanya semakin aku ingin memilikinya, namun setiap kali aku ingin mencoba untuk sekadar mengajaknya mengobrol atau menyapanya, tenagaku seolah hilang. Bahkan jika aku tidak sengaja bertemunya dikoridor, aku akan dengan segera menghindar, kemudian memperhatikannnya dari kejauhan.
Benar-benar menghindari kontak dengannya, sebenarnya kan aku mencintanya, namun entah kenapa malah aku yang menghindarinya, terlebih lagi keseharianku hanya bersama Olive, sahabatku itu. Kemana-mana aku akan terus berdua dengannya, jadi aku tidak punya kesempatan untuk sekedar mendapatkan senyumannya seperti waktu itu. Senyuman yang sampai sekarang aku rindukan, aku maasih mengagumi semua yang ia lakukan untuk pertama kalinya.
Ah Revan-Revan... bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk berterima kasih, meskipun sudah hampir 3 tahun berlalu namun itu tidak membuatku menghilangkan rasa yang aku milikki. Sepertinya itu hanya akan menjadi hayalanku untuk bersamanya, hanya akan menjadi impian semata. Ngomong-ngomong soal mimpi, mungkin akan lebih baik kalau aku tidur sekarang, agar aku bisa bermimpi dan kalau beruntung akan bertemu dengannya dialam mimpi. Akan lebih indah kalau bisa ngobrol dengannya, setidaknya dalam mimpi aku tidak akan takut oleh apapun bukan?
"Devii... Makan dulu sayang..." sebelum seluruh kesadaranku hilang, samar-samar aku mendengar suara Mama dari luar. Membuatku yang sudah terpejam membuka sedikit mataku dengan berat.
"Iyya maa..." jawabku dari kamar, sepertinya mimpiku harus ditunda dulu untuk sementara waktu. Permintaan mama bukanlah sesuatu yang bisa ditolak begitu saja, apalagi tentang makan. Kalau tiak aku akan mendengar serentetan kalimat yang sepertinya sudah cukup hafal aku dengar, mama akan membukakan kitab betapa butuhnya makanan untuk tubuh dan bla bla bla. Untuk hari ini aku sedang tidak ingin membuat keributan, lagian fikiranku juga sepertinya sedang terfokus untuk Revan, tidak mungkin aku merusaknya dengan memperburuk citra ku didepan mama dan mendengarkan omelannya tentang makanan.
Akhirnya dengan lemah, aku membangkitkan diri untuk segera mengikuti permintaaan mama. Sebelum kemudian meninggalkan kamarku yang masih berantakan dan mencuci mukaku dikamar mandi yang ada dikamar, menuju kearah dapur dimana tampak Mama, kak Randy dan papaku duduk dimeja makan. Dan aku pun melangkah untuk bergabung dengan yang lainnya.
"Huuffhh..." aku menghembuskan nafas lemah, menatap kearah bakso didepanku tanpa minat, hari ini Olive tidak bisa menemaniku makan dikantin seperti biasanya karena dia tidak datang. Semoga saja neneknya segera sembuh setelah dibawa kerumah sakit karena kesehatannya menurun dan Olive diharuskan untuk ikut mengantarnya.
Hari yang membosankan, sambil mengaduk-aduk bakso didepanku dengan lemah aku melirik kesamping tempat dimana biasanya Revan duduk bersama teman-temannya, tampak disana ramai anak-anak lain, namun tidak ada Revan yang membuatku bersemangat kembali, benar-benar membosankan bukan? Bahkan hanya melihatnya saja hari ini sepertinya tidak bisa, kemana lagi anak itu. Apa mungkin ia berada ditaman belakang sekolah seperti biasanya kalau tidak bersama teman-temannya, pria itu juga suka menghabiskan waktu disana sambil membaca buku, atau sekedar dengerin musik.
Ah kalau tau seperti itu, mending tadi aku pastikan dulu disini ada Revan atau tidak kemudian baru memesan, kalau seperti ini kan mubasir duit namanya, mana udah kepesen lagi nih bakso, kan sayang kalau nggak dimakan. Tapi nafsu makanku mendadak lenyap. Dan sepertinya hanya wajah Revan saja yang bisa membuat semangat itu hadir kembali seperti biasanya, namun tuh anak juga tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Hei... aku boleh duduk disini nggak?" pertanyaan itu sontak membuatku menatap keasal suara, dan Deg. Jantungku seakan berhenti begitu mengetahui sosok yang kini berdiri didepanku, bahkan mulutku membuka secara refleks, aku yakin mataku membulat karena kaget, dia... dia disini. Dengan susah payah aku menelan ludah yang terasa tersekat ditenggorokan, suaraku mendadak hilang dan tidak bisa dikeluarkan lagi.
"Kursi yang lainnya penuh, hanya meja ini yang kosong. Bagaimana?" kembali suara itu membuatku sadar kalau ini bukan mimpi, dan perlahan dengan sangat dipaksakan aku mengangguk. Pria itu tersenyum dan kemudian duduk tepat didepanku. Terlihat diwajahnya penuh rasa terimakasih kearahku. Kemudian meletakkan nampan yang berisi bakso dan es teh didepannya.
"Kita belum kenalan kan? Kenalin namaku Revan..." kata Revan sambil mengulurkan tangannya yang dengan sedikit ragu dan masih dengan keterpesonaan itu aku menerima uluran tangan dari pria yang mampu menarik hatiku serta keterpesonaanku, tampak Revan tersenyum geli, entah tersenyum karena ada yang lucu atau memang sikap ku benar-benar memalukan saat ini, namun sepertinya fisikku belum sepenuhnya bisa menjalankan apa pun yang diperintahkan oleh fikirannku, atau sebenarnya fikiranku sendiri belum benar-benar bisa kembali normal setelah apa yang baru saja terjadi.
"Aa aakuu..." aku mendengar lidahku sedikit bergetar untuk menjawab uluran tangan dari Revan, bahkan aku seolah membisu untuk balik memeberi tau namaku kepada Revan sang idola dalam hatiku.
"Devi. Aku tau, bener kan?" kalimat Revan membuat ku membulatkan mata karena kaget, dia tau namaku? bagaimana bisa, kemudian perlahan dia menarik tangannya kembali dan terfokus pada makanan dimangkuknya, dalam hati aku sangat bersyukur aku tidak pingsan sekarang, dan bisa dipastikan tanganku tidak akan aku cuci untuk beberapa hari karena sudah bersalaman sama cowok yang aku suka secara diam-diam selama 3 tahun terakhir ini.
"Iii iya. Aku Devi," jawabku akhirnya, meskipun bingung ini cowok tau dari mana, tapi aku sudah tidak perduli lagi.
"Anak kelas 3 b, dan termasuk siswi paling pintar dikelas, suka bakso, minum es campur, lahir 4 februari, anak ke 2 dari 2 bersaudara. Aku benar kan?" lagi-lagi kalimat yang Revan ucapkan mampu membuat mataku membulat karena kaget, dia tau hal paling detail tentangku? bahkan dia mengucapkannya sambil menikmati makanan yang telah ia bawa tadi, tanda bahwa informasi itu sepertinya sudah diluar kepalanya dan diingatnya dengan jelas. Masih dengan keterkejutan yang sama, aku belum bisa menemukan pita suaraku kembali, masih melongo menatapnya dengan semua keterpesonaan yang bisa aku lakukan. Revan tersenyum sekilas kemudian menatapku dengan gemes.
"Tolong jangan ber ekspresi semanis itu, aku benar-benar tergoda untuk mencubit pipimu sekarang..." selesai menguapkan kalimat itu Revan langsung mencubit pipiku dengan gemes, terbukti dengan kedua pipiku yang langsung memerah. Bukan, bukan karena cubitannya yang terasa sakit, namun karena malu dan tidak bisa lagi menyembunyikan rasa senangku. Bahkan aku yakin seluruh wajahku memerah sekarang, jantungku berdebar diluar kendali terlebih lagi, didalam perutku terasa begitu banyak kupu-kupu yang berterbangan, aku masih belum bisa menemukan pita suaraku kembali.
"Maaf karena membuatmu sekaget ini, tapi aku beneran tidak bisa menahannya lebih lama. Kamu selalu tidak pernah berpisah dengan sahabatmu, dan kalau kita tidak sengaja bertemu dijalan, kamu selalu menghindar bahkan sebelum aku sempat menyapamu. Jadi aku tidak bisa mengenalmu dengan baik, aku hanya bisa memperhatikanmu dari jarak pandang dikejauhan. Ngomong-ngomong, aku sudah menyukaimu sejak 3 tahun terakhir, tapi aku baru bisa mengatakannya sekarang. Itu juga karena kesempatan ini, saat aku bisa melihatmu duduk sendiri tanpa bodyguard yang selalu bersamamu, hehehe..." Revan menjelaskan dan kemudian tertawa geli, seolah apa yang ia katakan sudah ia hafalkan benar-benar namun masih malu untuk diucapkan, terbukti dengan kalimat yang ia ucapkan tanpa jeda seblumnya, menandakan kalau sebenarnya ia juga gugup saat mengatakan hal itu. Sementara aku sendiri, wajahku benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi sekarang, pasti sudah merah padam menahan malu.
"Suka??" hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan meskipun ada bermacam-macam pertanyaan yang terbayang didalam ingatanku, bagaimana bisa pria yang aku sukai secara diam-diam ini menyukaiku sejak lama, ini terasa mimpi. Tapi aku masih merasa sedikit sakit dipipiki akibat cubitan gemes Revan tadi yang menandakan kalau aku tidak sedang bermimpi, berarti kalau ini tidak mimpi pendengaranku yang mungkin bermasalah karena sering berkhayal.
"Iya, aku suka. Kamu tidak salah dengar kok," balas Revan sambil tersenyum saat aku sedang memegang telingaku seolah apa yang aku dengar sebelumnya salah dan agar pendengaranku kembali normal "Mungkin kamu masih syok karena mendengar pengakuan ini secara tiba-tiba, aku yakin kamu akan menganggapku pria aneh. Karena baru bertemu kali ini namun sudah bilang menyukaimu, tapi aku serius. Aku sudah lama menahan peraasaan ini, dan saat aku fikir kesempatan bersamamu juga baru kali ini terjadi, aku baru bisa mengatakannya. Kamu boleh menolak, tentu saja boleh. Aku juga hanya mengutarakan apa yang aku rasa sebelum semua penantianku sia-sia. Karena 3 tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyukai mu secara diam-diam, dan yaahh aku tentunya tidak mau meninggalkan SMU ini sebelum mengutarakan prasaanku padamu," kembali Revan menjelaskan apa yang ingin ia jelaskan, namun kalimat itu justru membuatku sesak nafas. Ini benar-benar suatu kejutan yang mampu membuatku hilang kesadaran, dan sepertinya aku akan pingsan sekarang, perlahan aku memaksa diriku sendiri untuk bernafas. Agar aku tidak benar-benar kehilangan kesadaran kali ini.
"Mungkin ada sedikit kesalahan disini," ucapku tanpa sadar, memaksa diriku untuk kembali berfikir normal dan sebisa mungkin untuk mengendalikan diri.
"Aku tidak pernah salah dengan rasa yang aku punya, Aku sudah bilang kamu berhak untuk menolak, tapi aku akan memberimu waktu. Agar setidaknya kamu bisa memberiku jawaban yang aku inginkan, mungkin mewujudkan keinginanku untuk bersamamu. Heheheh itu juga kalau aku beruntung tentunya, ahh aku benar-benar gugup sekarang..." kata Revan sambil menyandarkan tubuhnya dikursi. Meskipun kalimatnya disertai senyuman dan sedikit tawa, tapi aku berani bertaruh itu hanya karena kegugupannya saja. Hanya karena ia terlalu senang, dan itu terlihat jelas dari binar matanya yang seolah bercahaya. Menandakan kalau dia sedang bahagia saat ini, sementara aku sendiri masih dengan semua keterkejutan bertubi-tubi ini merasa tubuhku lemas tanpa tenaga. Pengakuan Revan mengambil semua tenaga yang aku miliki.
"Kamu akan memberiku waktu kan?" tanyaku setelah perlahan bisa mengendalikan diri, sebenernya bukan karena aku ingin menolaknya dan memikirkan apakah aku mau menerimanya, tapi aku harus memastikan diriku kalau ini bukanlah sebuah halusinasi atau hayalanku semata, aku harus bisa mengendalikan diri.
"Tentu saja, aku tidak terlalu buru-buru. Asal kamu menerimaku, aku bahkan akan menunggumu sampai waktu yang kamu janjikan. Hehehe..." balas Revan sambil tersenyum, namun tetap terlihat tegas. Membuktikan kalau apa yang ia ucapkan benar-benar hal yang jujur yang bisa ia berikan. Dan akhirnya aku memilih untuk melanjutkan makananku tanpa bicara yang aku yakini Revan menatapku tanpa berkedip, membuatku terus menunduk, malu. Dan aku yakin dia menatapku sambil tersenyum penuh arti.
Bersambung....
Berlanjut ke cerpen cinta love at first sight 03
Detail cerpen
Oke, buat yang udah lupa sama part sebelumnya bisa diliat disini Love at first sight ~ 01 happy reading yaa...
Love at First Sight |
Cerbung Love at First Sight
Lelah. Hari ini cukup melelahkan, sepulang sekolah aku langsung merbahkan tubuhku diatas ranjang kamar. Mencoba memikirkan kembali apa yang Olive katakan tadi, menyatakan cinta pada Revan? memangnya itu akan baik-baik saja? Ahk sepertinya tidak, itu benar-benar memerlukan kekuatan ekstra, aku tidak akan mampu melakukannya. Kemudian mataku menoleh kesekeliling ruangan, semua dinding kamar ku terpajang semua foto-foto Revan, dari ukuran yang paling kecil hingga yang paling besar. Dan semuanya perhatian Revan tidak pada kamera. Membuktikan kalau aku mendapatkan foto itu dengan objek yang sedang tidak fokus kearah kamera.
Tentu saja, karena tidak mungkin aku mendapatkan fotonya kalau aku memintanya menatap kearah kamera, namun hal itu tentu makin membuat foto hasil jepretanku tampak lebih asli dari pada harus menunjukkan ekspresinya, maksudku ini adalah ekspresi Revan sesungguhnya, benar-benar cukup alami tanpa ditambah dengan ekspresi lainnya.
Seulas senyum tampak mengembang dibibirku, entah sampai kapan aku bisa menyembunyikan rasa yang aku miliki, karena semakin aku mencintanya semakin aku ingin memilikinya, namun setiap kali aku ingin mencoba untuk sekadar mengajaknya mengobrol atau menyapanya, tenagaku seolah hilang. Bahkan jika aku tidak sengaja bertemunya dikoridor, aku akan dengan segera menghindar, kemudian memperhatikannnya dari kejauhan.
Benar-benar menghindari kontak dengannya, sebenarnya kan aku mencintanya, namun entah kenapa malah aku yang menghindarinya, terlebih lagi keseharianku hanya bersama Olive, sahabatku itu. Kemana-mana aku akan terus berdua dengannya, jadi aku tidak punya kesempatan untuk sekedar mendapatkan senyumannya seperti waktu itu. Senyuman yang sampai sekarang aku rindukan, aku maasih mengagumi semua yang ia lakukan untuk pertama kalinya.
Ah Revan-Revan... bahkan dia tidak memberiku kesempatan untuk berterima kasih, meskipun sudah hampir 3 tahun berlalu namun itu tidak membuatku menghilangkan rasa yang aku milikki. Sepertinya itu hanya akan menjadi hayalanku untuk bersamanya, hanya akan menjadi impian semata. Ngomong-ngomong soal mimpi, mungkin akan lebih baik kalau aku tidur sekarang, agar aku bisa bermimpi dan kalau beruntung akan bertemu dengannya dialam mimpi. Akan lebih indah kalau bisa ngobrol dengannya, setidaknya dalam mimpi aku tidak akan takut oleh apapun bukan?
"Devii... Makan dulu sayang..." sebelum seluruh kesadaranku hilang, samar-samar aku mendengar suara Mama dari luar. Membuatku yang sudah terpejam membuka sedikit mataku dengan berat.
"Iyya maa..." jawabku dari kamar, sepertinya mimpiku harus ditunda dulu untuk sementara waktu. Permintaan mama bukanlah sesuatu yang bisa ditolak begitu saja, apalagi tentang makan. Kalau tiak aku akan mendengar serentetan kalimat yang sepertinya sudah cukup hafal aku dengar, mama akan membukakan kitab betapa butuhnya makanan untuk tubuh dan bla bla bla. Untuk hari ini aku sedang tidak ingin membuat keributan, lagian fikiranku juga sepertinya sedang terfokus untuk Revan, tidak mungkin aku merusaknya dengan memperburuk citra ku didepan mama dan mendengarkan omelannya tentang makanan.
Akhirnya dengan lemah, aku membangkitkan diri untuk segera mengikuti permintaaan mama. Sebelum kemudian meninggalkan kamarku yang masih berantakan dan mencuci mukaku dikamar mandi yang ada dikamar, menuju kearah dapur dimana tampak Mama, kak Randy dan papaku duduk dimeja makan. Dan aku pun melangkah untuk bergabung dengan yang lainnya.
Love at First Sight
"Huuffhh..." aku menghembuskan nafas lemah, menatap kearah bakso didepanku tanpa minat, hari ini Olive tidak bisa menemaniku makan dikantin seperti biasanya karena dia tidak datang. Semoga saja neneknya segera sembuh setelah dibawa kerumah sakit karena kesehatannya menurun dan Olive diharuskan untuk ikut mengantarnya.
Hari yang membosankan, sambil mengaduk-aduk bakso didepanku dengan lemah aku melirik kesamping tempat dimana biasanya Revan duduk bersama teman-temannya, tampak disana ramai anak-anak lain, namun tidak ada Revan yang membuatku bersemangat kembali, benar-benar membosankan bukan? Bahkan hanya melihatnya saja hari ini sepertinya tidak bisa, kemana lagi anak itu. Apa mungkin ia berada ditaman belakang sekolah seperti biasanya kalau tidak bersama teman-temannya, pria itu juga suka menghabiskan waktu disana sambil membaca buku, atau sekedar dengerin musik.
Ah kalau tau seperti itu, mending tadi aku pastikan dulu disini ada Revan atau tidak kemudian baru memesan, kalau seperti ini kan mubasir duit namanya, mana udah kepesen lagi nih bakso, kan sayang kalau nggak dimakan. Tapi nafsu makanku mendadak lenyap. Dan sepertinya hanya wajah Revan saja yang bisa membuat semangat itu hadir kembali seperti biasanya, namun tuh anak juga tidak menunjukkan batang hidungnya.
"Hei... aku boleh duduk disini nggak?" pertanyaan itu sontak membuatku menatap keasal suara, dan Deg. Jantungku seakan berhenti begitu mengetahui sosok yang kini berdiri didepanku, bahkan mulutku membuka secara refleks, aku yakin mataku membulat karena kaget, dia... dia disini. Dengan susah payah aku menelan ludah yang terasa tersekat ditenggorokan, suaraku mendadak hilang dan tidak bisa dikeluarkan lagi.
"Kursi yang lainnya penuh, hanya meja ini yang kosong. Bagaimana?" kembali suara itu membuatku sadar kalau ini bukan mimpi, dan perlahan dengan sangat dipaksakan aku mengangguk. Pria itu tersenyum dan kemudian duduk tepat didepanku. Terlihat diwajahnya penuh rasa terimakasih kearahku. Kemudian meletakkan nampan yang berisi bakso dan es teh didepannya.
"Kita belum kenalan kan? Kenalin namaku Revan..." kata Revan sambil mengulurkan tangannya yang dengan sedikit ragu dan masih dengan keterpesonaan itu aku menerima uluran tangan dari pria yang mampu menarik hatiku serta keterpesonaanku, tampak Revan tersenyum geli, entah tersenyum karena ada yang lucu atau memang sikap ku benar-benar memalukan saat ini, namun sepertinya fisikku belum sepenuhnya bisa menjalankan apa pun yang diperintahkan oleh fikirannku, atau sebenarnya fikiranku sendiri belum benar-benar bisa kembali normal setelah apa yang baru saja terjadi.
"Aa aakuu..." aku mendengar lidahku sedikit bergetar untuk menjawab uluran tangan dari Revan, bahkan aku seolah membisu untuk balik memeberi tau namaku kepada Revan sang idola dalam hatiku.
"Devi. Aku tau, bener kan?" kalimat Revan membuat ku membulatkan mata karena kaget, dia tau namaku? bagaimana bisa, kemudian perlahan dia menarik tangannya kembali dan terfokus pada makanan dimangkuknya, dalam hati aku sangat bersyukur aku tidak pingsan sekarang, dan bisa dipastikan tanganku tidak akan aku cuci untuk beberapa hari karena sudah bersalaman sama cowok yang aku suka secara diam-diam selama 3 tahun terakhir ini.
"Iii iya. Aku Devi," jawabku akhirnya, meskipun bingung ini cowok tau dari mana, tapi aku sudah tidak perduli lagi.
"Anak kelas 3 b, dan termasuk siswi paling pintar dikelas, suka bakso, minum es campur, lahir 4 februari, anak ke 2 dari 2 bersaudara. Aku benar kan?" lagi-lagi kalimat yang Revan ucapkan mampu membuat mataku membulat karena kaget, dia tau hal paling detail tentangku? bahkan dia mengucapkannya sambil menikmati makanan yang telah ia bawa tadi, tanda bahwa informasi itu sepertinya sudah diluar kepalanya dan diingatnya dengan jelas. Masih dengan keterkejutan yang sama, aku belum bisa menemukan pita suaraku kembali, masih melongo menatapnya dengan semua keterpesonaan yang bisa aku lakukan. Revan tersenyum sekilas kemudian menatapku dengan gemes.
"Tolong jangan ber ekspresi semanis itu, aku benar-benar tergoda untuk mencubit pipimu sekarang..." selesai menguapkan kalimat itu Revan langsung mencubit pipiku dengan gemes, terbukti dengan kedua pipiku yang langsung memerah. Bukan, bukan karena cubitannya yang terasa sakit, namun karena malu dan tidak bisa lagi menyembunyikan rasa senangku. Bahkan aku yakin seluruh wajahku memerah sekarang, jantungku berdebar diluar kendali terlebih lagi, didalam perutku terasa begitu banyak kupu-kupu yang berterbangan, aku masih belum bisa menemukan pita suaraku kembali.
"Maaf karena membuatmu sekaget ini, tapi aku beneran tidak bisa menahannya lebih lama. Kamu selalu tidak pernah berpisah dengan sahabatmu, dan kalau kita tidak sengaja bertemu dijalan, kamu selalu menghindar bahkan sebelum aku sempat menyapamu. Jadi aku tidak bisa mengenalmu dengan baik, aku hanya bisa memperhatikanmu dari jarak pandang dikejauhan. Ngomong-ngomong, aku sudah menyukaimu sejak 3 tahun terakhir, tapi aku baru bisa mengatakannya sekarang. Itu juga karena kesempatan ini, saat aku bisa melihatmu duduk sendiri tanpa bodyguard yang selalu bersamamu, hehehe..." Revan menjelaskan dan kemudian tertawa geli, seolah apa yang ia katakan sudah ia hafalkan benar-benar namun masih malu untuk diucapkan, terbukti dengan kalimat yang ia ucapkan tanpa jeda seblumnya, menandakan kalau sebenarnya ia juga gugup saat mengatakan hal itu. Sementara aku sendiri, wajahku benar-benar sudah tidak bisa diperbaiki lagi sekarang, pasti sudah merah padam menahan malu.
"Suka??" hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan meskipun ada bermacam-macam pertanyaan yang terbayang didalam ingatanku, bagaimana bisa pria yang aku sukai secara diam-diam ini menyukaiku sejak lama, ini terasa mimpi. Tapi aku masih merasa sedikit sakit dipipiki akibat cubitan gemes Revan tadi yang menandakan kalau aku tidak sedang bermimpi, berarti kalau ini tidak mimpi pendengaranku yang mungkin bermasalah karena sering berkhayal.
"Iya, aku suka. Kamu tidak salah dengar kok," balas Revan sambil tersenyum saat aku sedang memegang telingaku seolah apa yang aku dengar sebelumnya salah dan agar pendengaranku kembali normal "Mungkin kamu masih syok karena mendengar pengakuan ini secara tiba-tiba, aku yakin kamu akan menganggapku pria aneh. Karena baru bertemu kali ini namun sudah bilang menyukaimu, tapi aku serius. Aku sudah lama menahan peraasaan ini, dan saat aku fikir kesempatan bersamamu juga baru kali ini terjadi, aku baru bisa mengatakannya. Kamu boleh menolak, tentu saja boleh. Aku juga hanya mengutarakan apa yang aku rasa sebelum semua penantianku sia-sia. Karena 3 tahun bukan waktu yang sebentar untuk menyukai mu secara diam-diam, dan yaahh aku tentunya tidak mau meninggalkan SMU ini sebelum mengutarakan prasaanku padamu," kembali Revan menjelaskan apa yang ingin ia jelaskan, namun kalimat itu justru membuatku sesak nafas. Ini benar-benar suatu kejutan yang mampu membuatku hilang kesadaran, dan sepertinya aku akan pingsan sekarang, perlahan aku memaksa diriku sendiri untuk bernafas. Agar aku tidak benar-benar kehilangan kesadaran kali ini.
"Mungkin ada sedikit kesalahan disini," ucapku tanpa sadar, memaksa diriku untuk kembali berfikir normal dan sebisa mungkin untuk mengendalikan diri.
"Aku tidak pernah salah dengan rasa yang aku punya, Aku sudah bilang kamu berhak untuk menolak, tapi aku akan memberimu waktu. Agar setidaknya kamu bisa memberiku jawaban yang aku inginkan, mungkin mewujudkan keinginanku untuk bersamamu. Heheheh itu juga kalau aku beruntung tentunya, ahh aku benar-benar gugup sekarang..." kata Revan sambil menyandarkan tubuhnya dikursi. Meskipun kalimatnya disertai senyuman dan sedikit tawa, tapi aku berani bertaruh itu hanya karena kegugupannya saja. Hanya karena ia terlalu senang, dan itu terlihat jelas dari binar matanya yang seolah bercahaya. Menandakan kalau dia sedang bahagia saat ini, sementara aku sendiri masih dengan semua keterkejutan bertubi-tubi ini merasa tubuhku lemas tanpa tenaga. Pengakuan Revan mengambil semua tenaga yang aku miliki.
"Kamu akan memberiku waktu kan?" tanyaku setelah perlahan bisa mengendalikan diri, sebenernya bukan karena aku ingin menolaknya dan memikirkan apakah aku mau menerimanya, tapi aku harus memastikan diriku kalau ini bukanlah sebuah halusinasi atau hayalanku semata, aku harus bisa mengendalikan diri.
"Tentu saja, aku tidak terlalu buru-buru. Asal kamu menerimaku, aku bahkan akan menunggumu sampai waktu yang kamu janjikan. Hehehe..." balas Revan sambil tersenyum, namun tetap terlihat tegas. Membuktikan kalau apa yang ia ucapkan benar-benar hal yang jujur yang bisa ia berikan. Dan akhirnya aku memilih untuk melanjutkan makananku tanpa bicara yang aku yakini Revan menatapku tanpa berkedip, membuatku terus menunduk, malu. Dan aku yakin dia menatapku sambil tersenyum penuh arti.
Bersambung....
Berlanjut ke cerpen cinta love at first sight 03
Detail cerpen
- Judul cerpen : Love at first sight
- Penulis : Mia mulyani
- Panjang : 1.595 word
- Serial : Cerbung
- Genre : Romantis, remaja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar